Cerpen - Badai menyisakan Rindu

"Mendaki". Hobby yang baru-baru ini cukup melahap ludes isi kantongnya. Hobby ini, ia tekuni sejak tahun 2015. Amel namanya. Gadis belia beranjak remaja, yang haus akan sebuah petualangan baru untuk berbagi cerita.

" Mel, nanjak gunung yuk!"  ajak Lisa, sahabat penanya.

"Gila! Gue kan belum pernah Sa.. Nggak usah yang aneh-aneh deh!"  kata Amel yang sontak kaget.

"Lo kan tau sendiri, gue tuh mageran orangnya.. Ini malah diajak nanjak."  sambung Amel.
(Mager, bahasa kidz jaman now yang artinya males gerak. Sudah nggak asing pastinya kan di telinga hehehe).

"Justru itu, lo harus coba! Ya.. Pleeeeease!! Sekaliiii aja, temenin gue.. Masa lo tega banget si Mel sama gue, lagipula, kita kan belum pernah muncak bareng.."

"Kapan lagi? Janji deh, cuma sekali! Nggak akan lagi gue ajak lo.." rayu Lisa dengan muka memelasnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya.

"Mulai deh.. Dramanya."

"Oke! Demi lo, gue mau. Tapi inget, cuma sekali. Nggak lagi-lagi."

"Iya beeeeeeeb .."

(Sebuah dialog bersejarah yang tiada mungkin Amel lupa).

Hari ke hari. Tanggal ke tanggal. Keadaan berbalik. Bukan lagi Lisa yang mengajak, melainkan Amel. Racun Lisa seakan mendarahdaging dalam tubuh Amel.

Mendaki dari satu gunung ke gunung lain, kini sudah menjadi list dalam agenda tripnya. Siapa sangka, Amel yang tadinya sangat tidak berminat dengan yang namanya travelling, justru ia ingin menjadi seorang traveller. "Ngapain sih travelling? Buang-buang waktu. Tenaga. Dan yang pasti buang-buang uang. Hasil jerih payah selama gue begadang, terbuang percuma dong? Enggak banget, deh!" Amel merasa menjilat ludahnya sendiri.

Yups! Seiring begulirnya waktu, ia merasa seperti Dandelion, yang tidak akan pernah tahu sampai mana angin akan membawa serta putik-putiknya.

Begitulah hidup, banyak sekali alur yang tidak terduga. Melintas saja tidak. Ya.. sekali lagi ada Tuhan Sang Sutradara. Akan ada banyak sekali kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Entah esok, ataupun lusa. Wallahualam bishawab.

Bergantinya bulan, seakan menjadi momok menyenangkan baginya. Kini, pusat perhatian tertuju pada sebuah kalender yang tengah berdiri mematung di atas meja. Beberapa tanggal dilingkari tinta merah, yang menandakan destinasi selanjutnya. "Tandain aja dulu, sambil di solawatin. Kalau sudah waktunya berangkat, pasti berangkat.." meyakinkan diri dalam hati.

Tidak berlangsung lama, notif sebuah pesan pada ponsel Amel, berbunyi.

"Rek milu moal? Merbabu.." tanya Nunu.

Nunu. Teman dari temannya Amel, yaitu Lia. Singkat cerita, Lia, Nunu, Amel dan beserta rekan lainnya sempat mengadakan trip wisata menuju Dieng. Sudah tidak aneh.. Begitu tergabung, pasti dibentuklah grupWA (grup WhatsApp), sebagai media rembuk runding estimasi perjalanan sekaligus ajang perkenalan. Supaya nggak kikuk alias nggak kaku nantinya hehehe.. Namun sayang, agenda Dieng tidak terlaksana dengan mulus. Ada kendala pada jadwal kerja sift yang bentrok. Nah, dari sanalah mereka saling mengenal.

Mendengar kata Merbabu, Amel sangat fast respon.

"Wah.. Nambah coretan tanggal lagi nih gue, Mau mau mau... Kapaaaan? Siapa aja? Terus kita lewat jalur apa? Eh iya, pp nya via kereta aja, kan belum pernah juga, cari sensasi baru gitu, gimana?" jawab Amel, diikuti sejumlah pertanyaan yang beruntun. (PP = Pulang Pergi)

Merbabu, salah satu gunung yang telah diidamkannya sejak lama. Rencana Agustus 2017, namun gagal. Hanya ia yang bentrok. Teman lainnya tidak. Akhirnya, mereka berangkat tanpa Amel. Jadi, begitu mendengar kata Merbabu, Amel sangat antusias. "Kapan lagi? Masa mau ditunda terus?" pikir Amel yang sudah menggebu-gebu.

Amel menyambangi kediaman rumah yang ternyata difungsikan ganda, yaitu sekaligus menjadi tempat basecamp. Lokasinya dapat ditempuh kurang lebih 1 jam perjalanan.

Amel tidak sendirian. Ia ditemani oleh sang adik. Karna menurutnya, perjalanan seorang diri akan terasa membosankan. Terlebih, tidak ada yang bisa diajak untuk bercakap.

Kedatangan Amel dan sang adik rupanya disambut dengan baik. Mungkin, memang seperti itu. Identiknya para pendaki yang bersifat ramah, cepat akrab juga easy going.

Amel dan sang adik pun duduk terpisah pada sebuah bangku, yang terbuat dari bambu dengan posisi meja kecil di tengahnya, lalu diletakkan asbak berbahan beling di atasnya.

Keadaan terlihat tidak kondusif. Bukan hanya ada Nunu saja, melainkan ada beberapa panitia lain juga di sana. Bahkan, sangat tampak sekali mata yang sembab. Sebab bertugas hingga begadang semalaman demi menyusun kegiatan dalam pendakian. Ya.. keberangkatan tinggal menghitung hari.

Nunu sejenak meninggalkan Amel, sekedar membeli cemilan di warung depan.

Tidak lama kemudian, datanglah seorang pria berkulit hitam manis, berkumis tipis, dengan postur tubuh tegap. Tingginya hanya beberapa jengkal dari Amel, dan hanya berpakaian kaos besertakan celana pendeknya. Ya bisa dibilang, segitu apa adanya lah ya. Sambil memindahkan bale bangku terbuat dari bambu, yang ukuran memanjang, lalu diletakkan tepat di hadapan Amel dan sang adik.

Kehadiran pria ini mengundang pertanyaan, "Siapa ya dia? Oh, mungkin rekan yang akan nantinya ikut bergabung dalam pendakian.." tebaknya dalam hati.

Setelah memulai topik pembicaraan, ternyata pria itu adalah ketua dari proses pendakian yang akan berlangsung. Senang bukan main rasanya, Amel dapat berbincang langsung dengan Sang Ketua, Rian namanya.

Pada saat Bang Rian bercerita, Amel begitu antusias mendengarnya. Walaupun, sebenarnya Amel sendiri agak risih melihat Sang Ketua berbicara sambil menikmati sebatang puntung rokok yang dihisapnya perlahan.

Bang Rian menceritakan hampir keseluruhan. Mulai dari bagaimana tim terbentuk, hingga silih berganti nama. Kurang lebih sejarahnya gitu deh.. Mulai dari yang namanya Drakula, dan kini menjadi Tarantula.

"Haha.. Nama yang unik, dan menggelitik bang! Lumayan sih, bisa buat para pendaki tertarik." kata Amel agak sedikit meledek.

Bang Rian menceritakan secara gamblang. Dan Amel semakin memasang telinga dengan konsentrasi penuh.

"Proses jatuh bangun dan jungkir balik yang sangat membakar semangat, bang!" ucap Amel.

Di sela-sela penjelasan bagaimana nanti kegiatan Merbabu, Bang Rian membeberkan sebuah plann B.

"Wong plann A saja belum terlaksana (Pendakian Merbabu), ini sudah ke plann B?"

"Ah sudahlah, dengarkan saja.." pungkas Amel.

Begitu Plann B diuraikan?

"Wow keren!"

"Hebat banget sih bang, bisa kerja sama dengan Djarum Adventure, pasti linknya kuat."

Begitu menyebutkan akan mengundang Adinda Thomas, Amel sempat kebingungan. Maklum saja, dibilang pendaki tentu bukan. Terjun dalam dunia pendaki pun baru seumur jagung. Yang ia tahu, tidak lain dan tidak bukan hanya "Fiersa Besari".

"Hmmm.. Mel, tahu Adinda Thomas?" tanya Bang Rian memastikan.

"Engga bang.. hehe"

"Masa sih? Dia terkenal banget lho Mel, semua kalangan pendaki cewek pasti tahu.."

"Yaudah deh, nanti juga tahu hehe.." jawabnya polos sambil menggaruk kepala.

"Jadi tuh, nanti kita akan mengadakan acara musik supercamp gitu Mel. Tamu undangannya spesial Adinda. Nah, tambahan acara kegiatannya, camping disertai beragam games. Kalo masalah musik sih, sudah pasti. Wong judulnya saja "Acara Musik Supercamp". Pasti seru deh.. Kalau free, ikut aja."

"Iya bang.. Siap."

Sepulang dari basecamp, Amel langsung membuka media sosial. Ia mulai menstalking dari akun official youtube, instagram dan twitter milik Adinda Thomas. "Wah, pendaki cantik yang trendi dan modis. Kalau lihat dari semua vlog yang diunggahnya, sepertinya dia orang yang typical easy going, ahh pendaki kan memang seperti itu, bukan?" pikir Amel.

Itulah Amel. Jika sudah terdoktrin dan penasaran, pasti akan mencari tahu lebih jauh apa keistimewaan si topik pembicara.

3 hari berlalu dan jeng jeng jeng..

Hari keberangkatan menuju merbabu pun tiba. Apalah daya, perjalanan kali ini pun sama seperti biasanya, via bus. Ya suka tidak suka, mau tidak mau, Amel tetap harus ikut naik. Dengan syarat, antimo cukup dan standbye plastik pada saku jaket.

"Mau puasa aja ah. Biarin laper juga.." gumamnya.

Sebelum memulai perjalanan, Bang Rian dengan tampilan jaket biru dan celana panjang sambil menggunakan kacamata hitam, mengundang kritikan Amel "gaya banget dah ah itu pak ketua hehehe.." katanya dalam hati.

Berdoa selesai. Bus pun mulai bergerak meninggalkan tempat semula berpijak.
Sampainya di rest area.. Amel merasa lapar bukan main. akhirnya, setelah menunaikan ibadah sholat dzuhur yang dijamak dengan ashar, Amel memberanikan diri memakan sekotak nasi yang telah dibagikan panitia sewaktu di bus.

"Nah gitu, makan Mel.." kata Bang Rian menghampiri.

"Iya. Haha laper bang.." percakapan biasa, sekedar dialog antara ketua dengan peserta, tegas Amel.

Perjalanan pun masih berlanjut. Dan sepanjang waktu dalam bus, Amel hanya tertidur. Mau gimana lagi, itu merupakan cara jitu, supaya Amel tidak mabuk dalam perjalanan.

Perjalanan memakan waktu hampir kurang lebih 15 jam.

Setibanya di basecamp, udara dingin semakin menusuk hingga ke tulang. Mengundang rasa malas yang membuat tubuh enggan untuk melakukan kegiatan. Kantuk seraya menyeruak tajam, terus menghampiri hingga kami pun terpejam.

Pagi buta sekitar ba'da subuh, tim panitia berangkat lebih awal untuk membangun tenda yang akan digunakan peserta nantinya.

Ku kira, pagi akan terasa hangat. Tapi, nyatanya tidak. Gemericik hujan turun dengan gemulainya. Sekitar pukul 7 pagi, gerimis mereda. Kami pun melakukan pemanasan lebih dulu, meregangkan otot-otot tangan serta kaki.

Ketua adalah penanggungjawab. Dan pastinya, sudah banyak pengalaman dalam mendaki. Baik itu dalam menghadapi cuaca maupun medan yang akan dilalui.

"Para cewek naik ojek ya.. Kemiringan tanjakan hampir 180 derajat.." pungkas Sang Ketua.

Okelah, kita para cewek naik ojek. Sampainya di hill top barulah memulai pendakian.

Amel yang kondisinya kurang mumpuni, terlalu memaksakan ikut pendakian kali ini. Tidak parah. Hanya saja, sedikit menghambat perjalanan. Sebentar-sebentar batuk. Nggak lama kemudian berhenti, lalu minum. Tenggorokan seakan menjadi enemy sesaat, tak lagi bersahabat. Tetapi, bukan Amel namanya kalau menyerah begitu saja. Oke, perjalanan tetap lanjut. Meskipun, dengan ritme langkah-batuk-berhenti-minum. Begitu seterusnya. Hingga tapak demi setapak, ia lakoni pelan tapi pasti.

Kondisi perjalanan tidak bisa ditebak. Sama halnya dengan dia haha. Tiba-tiba turun gerimis. Kemudian, selang beberapa menit kabut mampir. Sudah hadir, lalu menghilang dan berubah menjadi cuaca yang cerah. Ya, begitulah.

Pemandangan mulai berbeda. Tak lagi bebatuan atau tanjakan yang tak beraturan.

Sampainya di pos 3, terlihat beberapa pendaki lain yang sudah mendirikan tendanya. Semula, rombongan kami berencana mendirikan tenda tepat di Sabana II (dua). Akan tetapi, melihat jam terbang kami yang mulai goyah dan melehoy, alhasil kami membangun tenda di pos 4 alias Sabana I (satu).

Hujan kembali mengguyur. Membuat sepatu terasa lebih berat dua kali lipat. Amel yang saat itu hanya bermodalkan "pinjam teman", mendapati ukuran sepatu yang lebih besar dari kakinya. Longgar. "Gue ganti sendal aja deh.." ujarnya. Tanah basah menarik sendal jauh lebih dalam, seakan terjerembab pada lumpur hidup yang biasa terdapat di rawa-rawa. Amel yang semakin tidak nyaman, memutuskan untuk berjalan tanpa alas kaki. Satu pria tepat di depannya memperlambat langkah. "Sini tangan lo Mel.." kata Rangga. Amel yang sudah tak tahan, menyambut tangan bak superhiro, datang di saat yang tepat. "Kenapa bukan Bang Rian aja sih?" katanya spontan. "Kenapa Mel?". "Engga kok" . "Mel mel.. Secepat itukah dirimu kagum?" sambungnya dalam hati.

Sekitar bada Ashar, tibalah di Sabana I. Rasa lelah terbayar sudah, begitu melihat tenda yang berdiri dengan gagah.

"Yuhu.. Bisa rebahan juga!!" kata Amel dalam hati sambil meneguk minum yang setengah sisa dari ukuran 1.5 liter botol air mineral.

Begitu pembagian tenda selesai, Amel bersama 3 rekannya Tiara, Anisa dan Linda segera merapikan carier, lalu dilanjutkan merebahkan badan yang sudah tidak bisa lagi ditahan.

Namanya juga manusia, selalu menyelipkan harap di setiap harinya. Kali ini, kami rombongan serentak berharap, untuk bisa menikmati senja dari sabana I tempat di mana kami mendirikan tenda. Namun, sangat disayangkan.. tampaknya, Semesta belum mengizinkan. Matahari yang sudah menjalankan tugasnya, pamit undur diri. Kini malam temaram tanpa bintang yang berjaga. Ditemani sang hujan lalu angin yang seakan turut berdendang. Riuh gemuruh angin semakin terasa kencang, ketika tenda kami goyah seolah turut menikmati alunan angin. Yups! Badai! Angin berhembus semakin kencang tanpa ada kompromi lebih dulu. Beberapa dari tenda kami, kebanjiran. Bagaimana pun kondisinya, panitia tetap menjalankan kewajibannya untuk memenuhi asupan makanan demi perut kami, para peserta yang mulai keroncongan. Salut deh!

Jam berlalu dan angin semakin kencang. Seakan menambah volume speednya. Sudah begitu, badan nggak karuan. Ku olesi saja balsam tuk menghangatkan. Hingga akhirnya kami semua pun terlelap.

Dilalahnya, hingga subuh tiba.. Badai masih dengan gagahnya bersorak sorai. Apa boleh buat, rencana kami kandas. Yang tadinya pukul 3 dini hari akan summit attack menuju puncak merbabu, kini hanya berdiam diri dalam tenda.

Menghilangnya fajar tak menyurutkan badai rupanya. Okelah, kami dan para pendaki lain pun turut berdoa masing-masing supaya badai lelah akan dendangannya.

Beberapa menit kemudian, terdengar suara gerombolan yang menghampiri lokasi tenda kami. Mereka meminta air hangat. Ku kira perbekalan mereka habis. Ternyata, salah seorang rekannya terkena gejala hypotermia. Bulu kuduk ku merinding seketika, begitu terlontar sebuah teriakkan "peluk peluk peluk.. Peluk yang kenceng. Istighfar, ayo baca istighfar".

Kami tidak menyaksikan, hanya mendengarkan dari dalam tenda. Alhamdulillah, bisa teratasi. Dan mereka tetap melanjutkan untuk turun gunung. Sedangkan kami, masih berharap agar badai bisa segera berdamai.

Pukul 11 pagi, cuaca masih belum stabil. Dan sangat tidak memungkinkan untuk kami melanjutkan perjalanan apalagi sampai di puncak. Tak apa. Kami pun tidak menyesali. Bukankah puncak adalah bonus? Ya.. Perjalananlah yang paling utama. Nikmati saja lika liku ini. Anggap sebagai ancang-ancang untuk Misi Merbabu selanjutnya.

Kami pun turun gunung.

Ada keganjalan. "It's something different" begitu ungkapannya. Amel merasa aneh dengan sikap yang ditunjukan oleh Sang Ketua. Entahlah. Mungkin Amel nya saja yang saat itu ke-GRan.

Turun dari pos ke pos.. Lagi lagi, Amel merasakan. "Ah.. Itu mah sudah biasa, kan memang tugas dan kewajiban Sang Ketua memantau para peserta. Bukan ke kamu aja Mel, tapi ke semua." tegas Amel pada diri.

"Genggaman yang aneh, tatapan yang aneh, daaan.. Degup jantung yang aneh, haduuuuh mikir apa aku ini? Sekedar kagum mungkin Mel.." sanggahnya.

Keganjalan masih terus berlanjut. Bahkan hingga berada di Malioboro pun masih terasa. Sekali lagi Amel membantah "Hanya perasaanmu saja ko Mel.. Jangan berlebihan gitu ah!"

Jadi, kami rombongan setelah turun mendaki, menyempatkan waktu berkeliling Jogja. Tidak memakan waktu banyak. Tetapi, memakan kesan yang banyak. 4 hari, kami lalui bersama dalam perjalanan. Tawa dan canda sudah biasa terselip sebagai bumbu perasa.

Badai menyadarkan kita, bahwa sesulit apapun rintangan menghadang, ya harus kita hadapi lebih dulu. Semampu kita. Jika sudah sadar diri bahwa tidak mampu, ya.. berhenti saja. Tak apa. Toh bisa coba lagi di lain waktu. "Gunung nggak akan lari kok.. eh, siapa juga yang mau ngejar-ngejar gunung? Kalo ngejar dia sih mau. Hehehe."

Perjalanan pulang membawa sepenggal kisah. Kisah keganjalan yang masih belum terpecahkan. Hari pun telah berganti. Meskipun badai telah berlalu, namun badai merbabu menyisakan rindu. Yang entah bagaimana ini bermula. Amel pun tak tahu. Seperti yang diucapkan Rocky Gerung, "Rindu tidak akan menetap, namun ia terus kembali."

Amel pun kembali meluangkan waktunya menyapa Didie, "Buku Diary".

"Aku hanyalah seonggok buku, media pendukung berbagi cerita. Ia selalu mengutarakan. Semua perasaan. Semua keadaan. Bahkan, jika dibukukan seperti buku pelajaran sekolah, dapat dikelompokkan menjadi perbab. Dan bab terakhir, bertajuk pada dirinya, seorang pria pemberi kesan yang berbeda. Dibalik Badai yang menyerang, mengundang pertanyaan segudang. Akankah Merbabu ini terulang? Jika tidak, biar saja. Biarkan kekeluargaan tetap terjalin, meski tidak dalam atap yang sama."

TAMAT
Bogor, 28 JUNI 2019 - By : Andini Putri Rinjani

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keep Moving My Dear🌻❤️

Kita Setara! Menjabat sebagai "Manusia"

Lagu Recomanded Banget !! Avril Lavigne - Fly || Find it